SAH SETELAH 10 TAHUN
Setelah diinisiasi oleh komnas perempuan tahun 2012, Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) resmi disahkan menjadi Undang-undang oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI pada Selasa, 12 April 2022 dengan nama Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
PERJALANAN UU TPKS
- DIGAGAS DARI 2012
Seperti diawal tadi, UU TPKS ini telah digagas sejak tahun 2012 oleh Komnas Perempuan. Saat itu diusulkan dengan nama Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Tujuan dari RUU PKS ini adalah (1) Untuk mencegah segala bentuk Tindak Pidana Kekerasan Seksual, (2) Menangani, melindungi, dan memulihkan korban, (3) Menindak pelaku, (4) Mewujudkan lingkungan bebas dari kekerasan seksual. Saat itu undang-undang tersebut dianggap semakin dibutuhkan karena makin banyaknya kasus yang dialami terkain kekerasan Seksual.
- MULAI ADA PERKEMBANGAN DI TH 2016
Di bulan Juni 2016, Pemerintah dan DPR RI sepakat memasukkan RUU PKS ke Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas. RUU kemudian sempat pula disahkan di Badan Legislasi (Baleg) DPR agar dibawa ke rapat paripurna untuk disahkan sebagai usul inisiatif DPR pada Januari 2017. Selanjutnya pada 6 April 2017, RUU PKS disepakati sebagai inisiatif DPR dan dibahas pada rapat paripurna. Saat itu, disepakati bahwa RUU ini akan dibahas oleh panitia khusus Komisi III. Akan tetapi, akhirnya diputuskan bahwa RUU akan dibahas oleh Komisi VIII.
- PEMBAHASAN RUU TERKESAN LAMBAN
RUU PKS yang masuk ke prolegnas mulai dilakukan pembahasan sejak 2018. Namun, pembahasan berlangsung lamban. Bahkan pada Juli 2020, RUU PKS justru dikeluarkan dari Prolegnas Prioritas DPR. Keputusan ini diambil lantaran pembahasannya dinilai agak sulit. Pada 2021, RUU PKS kembali masuk ke daftar Prolegnas Prioritas. Pada Agustus 2021, RUU PKS kemudian resmi berganti nama menjadi RUU TPKS. Lalu, masuk ke Prolegnas Prioritas 2022 pada Senin, 6 Desember 2021.
- DISAHKAN JADI UNDANG-UNDANG DI TH 2022
Pada 18 Januari 2022, RUU TPKS kemudian disahkan menjadi RUU yang diusulkan sebagai RUU inisiatif DPR kembali. Hingga pada Rapat Paripurna ke-19 Masa Persidangan IV, RUU disahkan dengan dihadiri 311 orang angggota dewan. Dikutip dari Kompas.com, (12/4/2022), Ketua Panja RUU TPKS Willy Aditya menyampaikan, RUU ini merupakan aturan yang berpihak kepada korban serta memberikan payung hukum bagi aparat penegak hukum yang selama ini belum ada untuk menangani kasus kekerasan seksual. Sebelumnya, dalam pembahasan tingkat pertama, delapan dari sembilan fraksi di DPR setuju agar RUU TPKS disahkan, hanya Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang menolaknya.
POIN PENTING UU TPKS
DIkutip dari Vice(dot)com, ada 10 poin penting yang dirangkum dari UU TPKS, diantaranya:
- Segala bentuk pelecehan seksual kini sah disebut kekerasan seksual
Pasal 4 ayat 1 menyebutkan 9 macam kekerasan seksual. Nomor 1: pelecehan seksual nonfisik. Selain itu, penyidik kepolisian tidak boleh menolak pengaduan perkara kekerasan seksual atas alasan apapun.
- Melindungi korban revenge porn (menyebarkan konten seksual tanpa izin)
Di pembahasan akhir, DPR RI menambahkan poin kekerasan seksual berbasis elektronik digolongkan sebagai kekerasan seksual. Bagian ini menjadi satu dari lima pasal tambahan DPR, dan sempat ditentang pemerintah. Aturan ini berpotensi menyelamatkan korban revenge porn yang kerap dikriminalisasi UU ITE Pasal 27 ayat 1 tentang kesusilaan. Sebab, ada pemisahan mana pelaku dan mana korban. Sanksi kejahatan ini menurut Pasal 14 berupa penjara maksimal 4 tahun dan/atau denda maksimal Rp200 juta.
- Kekerasan seksual di dalam dan di luar perkawinan sama-sama bisa dihukum
Aturan dalam Pasal 6 ini juga jadi alasan Fraksi PKS menjadi satu-satunya fraksi yang hingga detik-detik pengesahan, konsisten menolak.
- Perbuatan mengawinkan korban pemerkosaan dan pelaku bisa dipidana
Pasal 10 melarang tiga macam pemaksaan perkawinan, yakni perkawinan anak, kawin paksa atas nama budaya, dan perkawinan korban dan pelaku pemerkosaan. Sanksinya: maksimal 9 tahun penjara dan/atau denda maksimal Rp200 juta.
- Hukuman pada pelaku kekerasan seksual tak hanya penjara dan denda
Pelaku tindak pidana kekerasan seksual tertentu bisa dihukum membayar restitusi (ganti rugi pada korban), hak asuhnya dicabut, identitasnya diumumkan, dan kekayaannya dirampas.
- Korporasi bisa ditetapkan sebagai pelaku kekerasan seksual
Menurut Pasal 18, kekerasan seksual yang dilakukan korporasi akan diganjar hukuman denda paling sedikit Rp5 miliar dan paling banyak Rp15 miliar.
- Kekerasan seksual tidak boleh diselesaikan lewat restorative justice
Restorative justice atau penyelesaian perkara hukum di luar pengadilan hanya boleh dipakai untuk kasus kekerasan seksual yang pelakunya masih anak-anak, demikian atur UU TPKS. Februari lalu kami merangkum berbagai kasus yang mengindikasikan ada tren memakai restorative justice untuk menangani kasus KDRT.
- Keterangan saksi/korban dan 1 alat bukti sah sudah cukup untuk menetapkan terdakwa
Ini berbeda dengan kasus pidana umumnya yang membutuhkan dua alat bukti sah sebelum menetapkan tersangka.
- Korban berhak mendapat pendamping di semua tingkat pemeriksaan
Diatur dalam Pasal 26-29.
- Korban berhak mendapat ganti rugi/restitusi dan layanan pemulihan
Terpidana kekerasan seksual wajib membayar ganti rugi atau restitusi kepada korban. Negara juga berhak menyita kekayaan terpidana. Apabila kekayaan terpidana tak cukup untuk membayar restitusi, negaralah yang wajib membayarkan kompensasi pada korban, menggunakan skema Dana Bantuan Korban. Uang restitusi dibayarkan kepada korban paling lama 30 hari setelah vonis pengadilan.
Sumber:
- https://komnasperempuan.go.id/uploadedFiles/1471.1615379138.pdf
- https://nasional.tempo.co/read/1582527/kilas-balik-10-tahun-perjalanan-uu-tpks/full&view=ok
- https://www.kompas.com/tren/read/2022/04/12/190000565/liku-perjalanan-ruu-tpks-hingga-disahkan-jadi-undang-undang?page=all
- https://www.vice.com/id/article/7kbayd/isi-pasal-uu-tpks-yang-disahkan-dpr-pada-setelah-enam-tahun-pembahasan